Selasa, 21 November 2017

Masjid Unik di Jogja Ini Hanya Punya Satu Tiang

SEBAGAI kerajaan Islam yang memiliki sejarah cukup panjang, Keraton Ngayogyakarta memiliki beberapa peninggalan masjid yang tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu masjid yang cukup unik yang ada di Yogyakarta adalah Masjid Keraton Soko Tunggal. Masjid Keraton Soko Tunggal ini terletak di kompleks Keraton Kesultanan Yogyakarta, Jalan Taman 1, Nomor 318, Kecamatan Kraton, Yogyakarta, tepatnya di depan pintu masuk obyek wisata Taman Sari.

Sesuai namanya, masjid ini memiliki keunikan yakni hanya memiliki satu buah soko guru (tiang penyangga utama). Biasanya bangunan berkonsep Jawa disangga oleh minimal empat batang saka guru.
Menurut prasasti yang tertera pada dinding depan, Masjid Keraton Soko Tunggal diresmikan pada hari Rabu Pon tanggal 28 Februari oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Masjid ini selesai dibangun pada hari Jumat Pon tanggal 21 Rajab tahun Be dan ditandai dengan Candrasengkala "Hanembah Trus Gunaning Janma" 1392 H atau 1 September dengan suryasengkala "Nayana Resi Anggatra Gusti" 1972 M.
Seorang saksi pembangunan Masjid Keraton Soko Tunggal, Hadjir Digdodarmodjo (84), menceritakan bahwa pembangunan masjid tersebut merupakan inisiatif masyarakat yang ada di sekitar Taman Sari yang menginginkan sebuah masjid sebagai tempat beribadah.
"Dulu di wilayah sini tidak ada masjid, jika melakukan salat berjamaah dan kegiatan keagamaan lainya kami menggunakan salah satu bagian bangunan di Taman Sari yang bernama Kedung Pengantin," ujar Hadjir.
Akhirnya dibentuklah sebuah panitia pembangunan masjid yang diketuai oleh Kakak Sri Sultan Hamengkubuwono IX, GBPH Prabuningrat. Karena diketuai oleh Kerabat Keraton Yogyakarta, proses pembangunan masjid tersebut relatif berjalan lancar.
Tak ayal, Presiden Indonesia saat itu, Soeharto juga turut memberikan bantuan pembangunan masjid.
"Bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 900 meter persegi, yang merupakan tanah pemberian Sultan HB IX. Tidak hanya memberikan tanah, beliau juga berpesan agar bangunan masjid dibuat dengan arsitektur Jawa, dan beliau menunujuk R. Ngabehi Mintobudoyo yang merupakan arsitek Keraton Yogyakarta, sebagai arsitek pembangunan Masjid Keraton Soko Tunggal," ujar Hadjir.
Lebih lanjut dia menceritakan, Sultan HB IX akhirnya memutuskan untuk memilih tanah yang saat ini digunakan sebagai tempat berdirinya bangunan masjid, karena di tanah tersebut dikuburkan 10 orang pejuang yang meninggal saat Serangan Umum 11 Maret 1949, Sultan HB IX ingin masjid tersebut juga menjadi monumen bagi para pejuang tersebut.
Masjid Soko Tunggal(Tribun Jogja/ Hamim Thohari)
Arsitektur bangunan masjid ini sarat dengan makna. Jika para jamaah duduk di ruangan masjid akan melihat 4 batang saka bentung dan 1 batang saka guru sehingga semua berjumlah 5 buah.
Hal ini merupakan lambang negara Pancasila. Saka guru merupakan lambang sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Mahaesa.
Usuk sorot (memusat seperti jari-jari payung), disebut juga peniung, merupakan lambang kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya. Soko guru yang digunakan adalah kayu jati yang berukuran 50 cm x 50 cm yang didatangkan dari daerah Cepu.
Saat ditebang, umur kayu jati tersebut telah mencapai 150 tahun. Sedangkan umpak (batu penyangga tiang) berasal dari petilasan Sultan Agung Hanyokrokusuma yang dahulu berkedudukan di Pleret Bantul.
Di masjid ini juga terdapat beragam ukir-ukiran. Ukiran ini selain dimaksudkan untuk menambah keindahan dan kewibawaaan, juga mengandung makna dan maksud tertentu.
Ukiran praba, berarti Bumi, tanah, kewibawaan. Ukiran saton berarti menyendiri, sawiji. Ukiran Sorot berarti sinar cahaya matahari. Tlacapan berarti panggah, yaitu tabah dan tangguh.
Ceplok-ceplok berarti pemberantas angkara murka. Ukiran mirong berarti maejan atau nisan, berarti bahwa semuanya kelak pasti dipanggil oleh Allah.
Ukiran tetesan embun di antara daun dan bunga yang terdapat di balok uleng berarti siapa yang salat di masjid ini semoga mendapat anugerah Allah.
Dari aspek konstruksi, bangunan masjid Sokotunggal ini juga sarat makna. Dalam konstruksi masjid itu ada bagian yang berbentuk bahu dayung'.
Hal ini melambangkan, orang-orang yang salat di masjid ini menjadi orang yang kuat menghadapi godaan iblis angkara murka yang datangnya dari empat penjuru dan lima pancer.
Sunduk berarti menjalar untuk mencapai tujuan. Santen berarti bersih suci (kejujuran). Uleng artinya wibawa. Singup artinya keramat, Bandoga artinya hiasan pepohonan, tempat harta karun. Tawonan berarti gana, manis, penuh.
Rangka-rangka masjid yang dibentuk sedemikian rupa juga memiliki makna. Saka brunjung melambangkan upaya mencapai keluhuran wibawa melalui lambang tawonan. Dudur adalah lambang ke arah cita-cita kesempurnaan hidup melalui lambang bandoga.
Balok/ Saka Bindi lambang mencapai cita-cita kesempurnaan hidup melalui lambang gonjo. Sirah gada, melambangkan kesempurnaan senjata yang ampuh, sempurna baik jasmani dan rohani. Mustaka digunakan untuk melambangkan keluhuran dan kewibawaan. (Tribun Jogja/Hamim Thohari)
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar